Saturday, May 2, 2020

Kisah Sahabat Tsabit Qais Al Anshary

Tsabit bin Qais al-Anshari, seorang pemuka Khazraj yang terpandang, salah seorang pembesar Yatsrib yang diperhitungkan keberadaannya oleh siapa saja.

Di samping itu dia berhati cerdik, responsif, lihai dalam bertutur kata dan bersuara keras. Jika dia berbicara maka dia mengalahkan lawan bicaranya, jika berkhutbah maka dia menyihir para pendengarnya.



Dia adalah satu di antara orang-orang yang masuk Islam angkatan pertama di Yatsrib. Begitu dia menyimak ayat-ayat al-Qur’an yang penuh hikmah yang dilantunkan oleh seorang da’i Makkah Mush’ab bin Umair dengan suaranya yang syahdu dan tekanannya yang merdu, al-Qur’an langsung menawan pendengaran hatinya dengan pengaruhnya yang indah, menguasai nuraninya dengan keterangannya yang mengagumkan dan memenuhi akalnya dengan petunjuk dan syariatnya. Allah Ta’ala melapangkan dadanya kepada Islam, meninggikan kedudukannya dan mengangkat namanya dengan bergabung di bawah panji Nabi Islam.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah sebagai muhajir, Tsabit bin Qais menyambut beliau bersama sekelompok orang dari para petinggi kaumnya dengan hangat, menerima beliau dan shahabat beliau ash-Shiddiq dengan penuh kemuliaannya. Tsabit mengucapkan khutbah di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebuah khutbah di mana dia mengawalinya dengan pujian dan sanjungan kepada Allah Ta’ala serta shalawat kepada Nabi-Nya.

Dia menutup khutbahnya dengan, “Kami berjanji kepadamu ya Rasulullah, akan melindungimu seperti kami melindungimu diri kami, anak-anak kami dan istri-istri kami dari setiap marabahaya yang akan menimpa. Lalu apa yang kami dapatkan sebagai balasannya?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab. “Surga. ”

Begitu kata surga menyentuh telinga mereka, wajah-wajah mereka mengisyaratkan kegembiraan dan rat muka mereka memperlihatkan keceriaan, mereka berkata, “Kami rela ya Rasulullah. Kami rela ya Rasulullah.”

Sejak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan Tsabit bin Qais sebagai juru bicara beliau sebagaimana Hassan bin Tsabit adalah penyair beliau.

Jika para delegasi datang kepada Rasulullah untuk membanggakan diri atau berdialog dengan lisan yang fasih dan lantunan kata yang merdu mendayu, baik para khatib maupun para penyairnya, maka Tsabit bin Qais maju ke depan untuk menjawab para khatib mereka, sedangkan Hassan bin Tsabit meladeni para penyairnya.

Tsabit adalah seorang laki-laki mukmin dengan iman yang dalam, bertakwa dengan ketakwaan yang bersih, sangat takut kepada Rabbnya, sangat berhati-hati dari segala perkara yang membuat Allah subhanahu wa ta’ala marah.

Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya sangat bersedih dan berduka, kedua lututnya gemetar karena khawatir dan takut, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bertanya kepadanya, ‘Ada apa denganmu wahai Abu Muhammad?”

Dia menjawab, ‘Aku takut telah berbuat celaka ya Rasulullah.” Nabi bertanya, “Mengapa?”

Dia menjawab. ‘Allah telah melarang kami berharap dipuji dengan sesuatu yang tidak kami lakukan, sementara aku adalah orang yang suka pujian. Allah melarang kami bersikap sombong sedangkan aku adalah orang yang mengagumi diriku.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha menenangkan kecemasannya, sampai beliau bersabda kepadanya, “Wahai Tsabit, apakah kamu tidak rela hidup dalam keadaan terpuji, mati sebagai syahid dan masuk surga?”

Wajah Tsabit berbinar dengan berita gembira tersebut, dia berkata, “Ya wahai Rasulullah. Ya wahai Rasulullah.”

Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu milikmu.”

Manakala firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah-janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. A]-Hujurat:2) diturunkan, sejak saat itu Tsabit bin Qais menjauh dari majelis-majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun dia sangat menyintainya dan sangat berkeinginan untuk mendatanginya, Tsabit diam di rumahnya dan tidak pernah meninggalkannya kecuali hanya untuk shalat berjamaah. Rasulullah pun mencari-cari Tsabit, beliau bertanya, “Siapa yang hadir membawa beritanya kepadaku?”

Maka seorang laki-laki Anshar berkata, “Aku ya Rasulullah.”

Laki-laki Anshar ini pergi ke rumahnya, dia melihat Tsabit dalam keadaan berduka dan bersedih, kepalanya tertunduk, laki-laki Anshar ini bertanya, “Mengapa dengan dirimu wahai Abu Muhammad?”

Tsabit menjawab, “Buruk.” Dia bertanya, “Apa itu?”

Tsabit menjelaskan, “Sesungguhnya kamu mengetahui bahwa aku bersuara tinggi, tidak jarang suaraku mengalahkan tingginya suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara ayat al-Qur’an telah turun seperti yang telah kamu ketahui, aku tidak menyangka sama sekali bahwa amalku telah batal dan aku akan menjadi penghuni neraka.”

Laki-laki Anshar ini pun pamit dan menyampaikan jawaban Tsabit kepada Rasulullah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah kepadanya dan katakan, ‘Kamu bukan penghuni neraka sebaliknya kamu adalah penduduk surga’.”

Sebuah berita gembira besar untuk Tsabit di mana dia mengharapkan kebaikannya sepanjang hayatnya.

Tsabit bin Qais ikut dalam seluruh peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Badar, dia menerjunkan dirinya di dalam ombak peperangan demi mencari syahadah yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Sesekali dia belum mendapatkannya namun syahadah itu tidak berada jauh darinya, hanya berjarak dua busur atau lebih dekat lagi.

Hingga tiba saatnya terjadi perang melawan orang-orang murtad antara kaum muslimin melawan Musailamah al-Kadzdzab di zaman Abu Bakar ash-Shiddiq. Saat itu Tsabit adalah panglima pasukan Anshar sedangkan Salim maula Abu Hudzaifah adalah panglima orang-orang Muhajirin, sementara panglima yang membawahi orang-orang Muhajirin, Anshar dan orang-orang Arab pedalaman adalah Khalid bin al-Walid.

Di setiap medan laga dalam perang ini terlihat keunggulan pasukan Musailamah al-Kadzdzab atas pasukan kaum muslimin, sehingga mereka mampu menembus markas Khalid bin al-Walid dan hampir saja membunuh istrinya Ummu Tamim, mereka berhasil memotong tali-tali pengikat tenda markas dan memporak-porandakannya.

Saat itu Tsabit bin Qais melihat kelemahan kaum muslimin yang membuat hatinya bersedih dan teriris, dia mendengar mereka satu sama lain saling melemahkan dan ini membuat dadanya sempit dan berduka.

Orang-orang kota menuduh orang-orang pedalaman sebagai pengecut, sementara orang-orang pedalaman menuduh orang-orang kota tidak becus berperang dan tidak tahu memegang senjata.

Pada saat itu Tsabit bersiap-siap untuk mati, dia mengambil kain kafannya, dia berdiri di depan khalayak dan berkata, “Wahai kaum muslimin, tidak seperti ini kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sangat buruk, karena kalian membiarkan musuh kalian berani melakukan apa yang mereka lakukan terhadap kalian. Sangat buruk, karena kalian membiasakan diri kalian dengan bersikap pengecut di depan musuh kalian.”

Lalu Tsabit mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepadaMu dari apa yang dilakukan oleh mereka, -Yakni Musailamah dan pasukannya- dan aku juga berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh mereka.” Yakni kaum muslimin.

Kemudian dia merangsek maju layaknya seekor singa yang terluka, bahu membahu bersama para shahabat yang mulia lainnya, Al-Barra bin Malik al-Anshari, Zaid bin al-Khatthab saudara Amirul Mukminin Umar bin al Khatthab, Salim maula Abu Hudzaifah dan orang-orang mukmin angkatan pertama lainnya.

Tsabit menunjukkan kepahlawanannya dengan gagah berani, hal ini menumbuhkan semangat tempur di hati kaum muslimin dan menyumbat dada orang-orang musyrikin dengan kecemasan dan ketakutan.

Tsabit terus berperang di segala arah, dia menebaskan senjatanya hingga luka-luka menghentikan aksinya yang patriotik.

Dia tersungkur di medan peperangan dengan sangat tenang sesuai dengan apa yang telah Allah tetapkan untuknya berupa gugur sebagai syahid yang sebelumnya telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Gugur sebagai syahid dengan dada tenteram karena Allah Ta’ala mewujudkan kemenangan besar bagi kaum muslimin.

Dalam perang ini Tsabit memakai baju besi yang berharga, lalu seorang laki-laki dari kaum muslimin melewati jasadnya kemudian melepaskan baju besi tersebut dari tubuhnya dan ia mengambil baju besi tersebut untuk dirinya.

Di malam kedua dari gugurnya Tsabit, seorang laki-laki dari kaum muslimin bermimpi bertemu dengannya.

Tsabit berkata kepada laki-laki itu, ‘Aku adalah Tsabit bin Qais, apakah kamu mengenalku?”

Dia menjawab, “Ya.”

Tsabit berkata, ‘Aku berwasiat kepadamu, jangan berkata bahwa ini adalah mimpi agar kamu tidak menyia-nyiakannya. Ketika aku terbunuh kemarin, seorang laki-laki dari kaum muslimin yang ciri-cirinya seperti ini melewatiku, dia mengambil baju perangku dan membawanya ke tendanya yang terletak di paling ujung dari markas kaum muslimin dari arah ini. Dia meletakkannya di bawah sebuah bejana lalu menutupinya dengan pelana. Datanglah kepada Khalid bin al-Walid, katakan kepadanya agar dia mengutus seseorang untuk mengambil baju besi itu karena ia masih berada di tempatnya. Aku mewasiatkan kepadamu dengan wasiat yang lain, jangan berkata bahwa ini adalah mimpi agar kamu tidak menyia-nyiakannya. Katakan kepada Khalid, Jika engkau pulang kepada Khalifah Rasulullah
di Madinah maka katakan kepadanya. ‘Sesungguhnya Tsabit memikul hutang sekian dan sekian dan bahwa fulan dan fulan dari hamba sahayaku merdeka. Hendaknya dia membayar hutangku dan membebaskan hamba sahayaku.”

Laki-laki yang bermimpi itu terjaga, dia menemui Khalid bin al-Walid, dia menyampaikan mimpinya. Maka Khalid mengutus seseorang untuk mengambil baju besi Tsabit dari tangan orang yang mengambil baju besi tersebut di tempatnya. Kemudian seorang laki-laki utusan Khalid kembali dengan menenteng baju besi tersebut.

Ketika Khalid pulang ke Madinah, dia menyampaikan berita dan wasiat Tsabit bin Qais kepada ash-Shiddiq, lantas ash-Shiddiq melaksanakan wasiatnya.

Tidak pernah ada sebelumnya dan tidak akan pernah ada sesudahnya bahwa wasiat seseorang dilaksanakan sesudah kematian orang tersebut selainnya.

Semoga Allah Ta’ala meridhai Tsabit dan menempatkannya di Illiyin tertinggi.

No comments:

Post a Comment