Saturday, May 2, 2020

Kisah Sahabat Tsumamah bin Utsal

Seorang pemuda pernah bertanya kepada al-Syaikh al-Qadhi Taqiyyuddin an-Nabhani rahimahullah terkait dengan kunci sukses dalam sebuah aktivitas. Kemudian beliau memberikan tiga pesan: (1) al-iman/al-tsiqah bil fikrah (keyakinan kepada fikrah/gagasan); (2) al-jiddiyyah (keseriusan dan kesungguhan mewujudkan gagasan); dan (3) al-mutaba’ah (monitoring aktivitas sampai terealisasi dengan benar).

Keyakinan pada gagasan yang dibawa adalah perkara yang amat penting. Contoh terbaik dalam ini adalah Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka begitu yakin atas ajaran baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Sayyiduna Ali misalnya, saat berhadap dengan kafir Quraisy menyimpan satu keyakinan: bahwa saya akan mengalahkan kamu. Juga mentransfer keyakinan tersebut kepada lawan: bahwa kamu akan saya kalahkan. Kepercayaan diri ini akan terefleksi dalam tindakan.

Kesungguhan dalam mewujudkan fikrah juga bisa kita lihat dalam diri para sahabat Nabi. Termasuk di antaranya adalah Tsumamah bin Utsal al-Hanafi ( ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ الْحَنَفِيّ ) رضي الله عنه. Tulisan ini akan mengisahkan tentang kesungguhan beliau dalam mewujudkan keyakinannya.

Adapun monitoring terhadap aktivitas sampai benar-benar terwujud, nampak sekali dari bagaimana para sahabat memastikan setiap amanah bisa terwujud, termasuk saat menugaskan yang lain. Adalah Sayyiduna Umar bin Khaththab رضي الله عنه yang benar-benar memonitor pelaksanaan tanggung jawab oleh pejabat negara yang diangkatnya.

Berikut adalah kisah tentang kesungguhan Tsumamah bin Utsal al-Hanafi رضي الله عنه.




Di tahun ke-6 hijriyah, Rasulullah ﷺ berniat memperluas wilayah cakupan dakwah. Beliau menulis delapan surat kepada raja-raja Arab dan Ajam. Nabi ﷺ mengirimkannya kepada mereka untuk menyeru mereka kepada Islam. Di antara orang yang mendapat surat Rasulullah ﷺ adalah Tsumamah bin Utsal al-Hanafi.

Tidak mengherankan karena Tsumamah adalah salah seorang pembesar orang-orang Arab di zaman jahiliyah. Salah seorang pemuka Bani Hanifah yang terpandang. Salah seorang raja Yamamah yang perintahnya senantiasa ditaati.

Tsumamah menerima surat Nabi ﷺ dengan sikap angkuh dan melecehkan. Dia menutup kedua telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar dakwah kepada kebaikan dan kebenaran itu.

Ia bertekad membunuh Rasulullah ﷺ dan menggubur dakwahnya. Dia mulai mencari peluang untuk membunuh Nabi ﷺ sampai dia mendapatkan kesempatan itu.

Setelah gagal membunuh Rasulullah, Tsumamah mengincar para sahabat, sehingga dia berhasil menangkap beberapa orang dari mereka dan membunuh mereka secara brutal. Atas dasar itu, Nabi ﷺ menghalalkan darahnya dan mengumumkannya di hadapan para sahabatnya.

Tidak lama setelah itu Tsumamah berniat untuk menunaikan ibadah umrah, maka dia berangkat meninggalkan bumi Yamamah menuju Mekah, dia sudah membayangkan akan melaksanakan thawaf dan menyembelih kurban untuk berhalanya.

Ketika Tsumamah dalam perjalanan menuju Mekah di dekat kota Madinah, sebuah pasukan Rasulullah ﷺ yang sedang berpatroli di sekeliling Madinah, menyergap Tsumamah.



Pasukan ini menawannya, sementara mereka tidak mengenal siapa dia, pasukan ini membawanya ke Madinah, mengikatnya di salah satu tiang masjid, menunggu ﷺ yang akan melihat perkara tawanan ini dan menetapkan perintahnya padanya.

Ketika Nabi ﷺ pergi ke masjid, dan hampir masuk ke dalamnya, beliau melihat Tsumamah terikat di sebuah tiang, maka beliau bersabda, “Apakah kalian tahu siapa dia?”

Mereka menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.”

Beliau berkata, “Ini Tsumamah bin Utsal al-Hanafi, tawanlah dia dengan baik.”

Kemudian Rasulullah ﷺ pulang ke keluarga beliau dan bersabda, “Kumpulkanlah makanan lezat yang kalian miliki dan hidangkalah kepada Tsumamah bin Utsal.”

Kemudian Nabi ﷺ memerintahkan agar unta beliau diperah di pagi dan sore hari lalu susunya disuguhkan kepada Tsumamah.

Semua itu dilakukan kepada Tsumamah sebelum Rasulullah ﷺ bertemu dengannya dan sebelum beliau berbicara kepadanya.

Selanjutnya Nabi ﷺ menemui Tsumamah, beliau ingin menyerunya kepada Islam secara perlahan, beliau bertanya kepadanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?”

Dia menjawab, “Aku mempunyai kebaikan wahai Muhammad, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah (orang yang akan dituntut bela atas kematiannya), namun jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf kepada orang yang tahu berterima kasih. Jika kamu ingin harta, maka katakan saja niscaya kamu akan kami berikan apa yang kamu inginkan.”

Nabi ﷺ membiarkannya dalam keadaan demikian selama dua hari. Makanan dan minuman lezat selalu disuguhkan kepadanya, susu unta tetap diperah untuknya. Kemudian Nabi ﷺ menemuinya kembali, beliau bertanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?”

Tsumamah menjawab, “Aku hanya mempunyai apa yang aku katakan sebelumnya. Jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf kepada orang yang tahu berterima kasih, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah (orang yang dituntut bela kematiannya). Jika kamu menginginkan harta, maka mintalah niscaya akan kami beri seberapapun yang kamu mau.”

Nabi ﷺ meninggalkannya, di hari berikutnya Nabi ﷺ datang lagi kepadanya, beliau bertanya kepadanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?”

Dia menjawab, “Aku mempunyai apa yang telah aku katakan kepadamu. Jika kamu memberi maaf maka kamu memberi maaf kepada orang yang tahu berterima kasih, jika kamu membunuh maka kamu membunuh pemilik darah (orang yang dituntut bela atas kematiannya). Jika kamu menginginkan harta, maka mintalah niscaya kami akan memberi seberapa saja yang kamu mau.”

Lalu Rasulullah ﷺ melihat para sahabatnya dan bersabda, “Lepaskan Tsumamah.” Maka mereka membuka ikatannya dan melepaskannya.

Tsumamah meninggalkan masjid Rasulullah ﷺ, dia berlalu sampai tiba di sebuah kebun kurma di pinggir Madinah dekat al-Baqi’ yang ada mata airnya. Tsumamah menghentikan kendaraannya di sana. Dia bersuci dengan menggunakan airnya secara baik, kemudian membalikkan langkahnya menuju masjid.



Begitu dia tiba di masjid, dia berdiri di hadapan sekumpulan orang dari kaum Muslimin dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak di sembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”

Selanjutnya Tsumamah menemui Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Muhammad, demi Allah di muka bumi ini tidak ada wajah yang paling aku benci melebihi wajahmu, namun sekarang wajahmu menjadi wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, tidak ada agama yang paling aku benci melebihi agamamu, namun saat ini agamu menjadi agama yang paling aku cintai. Demi Allah tidak ada negeri yang paling aku benci melebihi negerimu, namun saat ini ia menjadi negeri yang paing aku cintai.”

Kemudian dia menambahkan, “Dulu aku pernah membunuh beberapa orang dari shahabat-shahabatmu, apa yang harus aku pikul karenanya?”

Nabi ﷺ menjawab, “Tidak ada dosa atasmu wahai Tsumamah, karena Islam menghapus apa yang sebelumnya.”

Maka wajah Tsumamah berbinar, dia berkata, “Demi Allah, aku akan melakukan terhadap orang-orang musyrikin sesuatu yang jauh lebih berat daripada apa yang telah aku lakukan terhadap shahabat-shahabatmu. Aku meletakkan pedangku, jiwaku, dan orang-orangku demi membelamu dan membela agamamu.”

Kemudian Tsumamah berkata, “Ya Rasulullah, pasukanmu menangkapku, pada saat itu aku hendak melaksanakan umrah, menurutmu apa yang aku lakukan?”

Nabi ﷺ menjawab, “Teruskan umrahmu namun di atas syariat Allah dan rasul-Nya.” Lalu Nabi ﷺ mengajarkan manasik umrah kepadanya.

Tsumamah melanjutkan langkahnya untuk melaksanakan niatnya, dia tiba di lembah Mekah, maka dia berdiri mengangkat suaranya dengan lantang, “Labbaika Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika laka.”

Ia adalah Muslim pertama di muka bumi yang masuk Mekah dengan bertalbiyah.

Orang-orang Quraisy mendengar suara talbiyah, maka mereka berhamburan keluar penuh dengan kemarahan dan kekhawatiran, pedang-pedang ditarik dari sarungnya, mereka menuju sumber suara untuk membungkam pemiliknya yang telah mengganggu mereka.

Manakala orang-orang datang kepada Tsumamah, dia pun lebih meninggikan suara talbiyahnya sambil memandang mereka penuh dengan kebanggaan. Beberapa anak muda Quraisy berniat melepaskan anak panah kepadanya, namun para pemuka Quraisy mencegah mereka. Para pemuka Quraisy berkata, “Celaka kalian, apakah kalian tahu siapa orang ini? Dia adalah Tsumamah bin Utsal, Raja Yamamah, demi Allah, kalau kalian mencelakainya niscaya kaumnya akan memutuskan pengiriman gandum kepada kita, akibatnya kita akan mati kelaparan.”

Tsumamah mengatakan, “Aku bersumpah demi Ilah Ka’bah ini, setelah aku pulang ke Yamamah tidak ada lagi pengiriman sebiji gandum pun atau sebagian dari hasil buminya sebelum kalian semuanya menikuti Muhammad.”

Tsumamah bin Utsal melaksanakan umrah di hadapan orang-orang Quraisy seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ.



Dia menyembelih dam untuk mendekatkan diri kepada Allah bukan untuk berhala-berhala. Setelah dia tiba di tengah kaumnya, dia memerintahkan mereka agar menahan gandum agar tidak dikirim kepada orang-orang Quraisy, mereka pun menaati dan mengikuti perintahnya, mereka menahan hasil bumi mereka dari orang-orang Mekah.

Embargo yang ditetapkan oleh Tsumamah atas Quraisy mulai berdampak terhadap mereka sedikit demi sedikit, harga makanan mulai melambung, kelaparan menyebar di kalangan masyarakat, kesulitan mendera mereka, sehingga mereka khawatir atas diri mereka dan anak-anak mereka akan mati kelaparan.

Pada saat itu mereka menulis surat kepada Rasulullah ﷺ yang isinya:

“Yang kami tahu tentangmu adalah bahwa kamu penyambung tali silaturahim dan memerintahkan untuk melakukannya. Namun sekarang kamu telah memutuskan rahim-rahim kami, kamu membunuh bapak-bapak kami dengan pedang, dan mematikan anak-anak kami dengan kelaparan. Tsumamah bin Utsal telah memutus pengiriman gandum sehingga hal itu menyulitkan kami. Jika kamu berkenan untuk menulis kepadanya agar dia mengirim apa yang kami perlukan, maka lakukanlah.”

Nabi ﷺ menulis kepada Tsumamah agar mengirimkan kembali gandum kepada orang Quraisy, maka dia pun melakukannya.

Tsumamah bin Utsal selama hidupnya tetap setia kepada agamanya, menjaga janjinya kepada Nabi ﷺ. Ketika Rasulullah ﷺ wafat dan orang-orang Arab mulai murtad meninggalkan Islam, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah dan Musailamah muncul di antara Bani Hanifah menyeru mereka agar beriman kepadanya, Tsumamah menghadangnya, dia berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Hanifah, jauhilah perkara gelap yang tidak mempunyai cahaya ini. Demi Allah ia adalah kesengsaraan yang Allah tetapkan atas siapa yang mengambilnya dari kalian dan ujian bagi siapa yang tidak mengambilnya.”

Kemudian dia berkata, “Wahai Bani Hanifah, tidak berkumpul dua orang nabi dalam satu waktu. Bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang tiada Nabi sesudahnya, tiada nabi yang berserikat dengannya.”

Kemudian dia membacakan firman Allah Ta’ala:

“Haa Miim. Alquran ini diturunkan dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, yang mengampuni dosa dan menerima taubat lagi keras hukumanNya yang mempunyai karunia. Tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Hanya keadaNyalah semua makhluk kembali.” (TQS. Ghafir: 1-3)

Kemudian Tsumamah bersama orang-orang yang masih memegang Islam dari kaumnya berperang melawan orang-orang murtad demi menegakkan jihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat-Nya di muka bumi.
***

Semoga Allah membalas Tsumamah bin Utsal atas jasa baiknya kepada Islam dan kaum Muslimin dengan kebaikan serta memuliakannya dengan surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa. Beliau adalah sosok Muslim yang serius dan bersungguh-sungguh mewujudkan keyakinannya. Semoga terlahir banyak Tsumamah dari rahim umat ini. Aamiin.

Disarikan dan dikembangkan dari pesan salah seorang ‘alim utusan dakwah dari Timur Tengah.

No comments:

Post a Comment